Evolusi Ekologi Kota Ende

Padatnya aktivitas di sepanjang Jalan Wirajaya Ende saat pagi maupun siang hari merupakan representasi dari transformasi ekologi sebuah kota. Orang awam sekalipun dapat membayangkan betapa sibuknya rutinitas keseharian dan lebih-lebih para pelajar yang hilir-mudik melewati jalur utama tersebut. Kesibukan serupa segera terlihat ketika beranjak sore sampai malam hari di pasar Potulando di Jalan Kelimutu. 

Sementara itu, di taman Pantai Ria ditemukan banyak kerumunan orang yang tengah terpesona menikmati detik-detik tenggelamnya matahari di ufuk Barat. Berlanjut ke malam hari, area sekitar pasar kuliner pinggiran pantai Selatan Kota Ende ramai dikunjungi warga masyarakat sekadar santap malam ataupun melepas lelah sembari minum-minum dan menikmati makanan ringan seperti ubi dan pisang goring serta makanan lokal lainnya. Dinamika rutinitas kerja dan kesibukan warga masyarakat dapat teridentifikasi pula pada area-area padat lainnya. Misalnya, ruas Jalan Sam Ratulangi Ende dikenal dengan aktivitas yang sangat padat. Sejak pagi pukul 07.00 - 21.00 para mahasiswa Universitas Flores berjejal pergi- pulang kuliah. 

Sudah menjadi pemandangan umum bahwa acapkali aktivitas di ruas jalan ini mengalami kemacetan; khususnya area depan Kampus I dan Kampus II Uniflor. Kemacetan ini dipicu oleh perilaku pengandara bemo dan ojek yang berebutan menaikkan ataupun menurunkan penumpang yang sebagian besarnya mahasiswa Uniflor. Intensitas mobilitas manusia disertai arus barang dan jasa itu mengindikasikan bahwa kota Ende sedang bermetamorfosa menjadi kota yang “bernyawa” dan bergairah. Padahal, sebelum tahun 2000, mencari angkutan atau bemo pada malam hari di kota Ende sangat sulit bahkan sama sekali nihil. 

Kini, kota Ende menampilkan pesonanya sebagai salah satu kota pelajar dan kota pariwisata di Pulau Flores yang terus bergeliat penuh gairah dan siap berkompetisi dengan kota-kota lain di pulau Flores, seperti kota Labuan Bajo, Ruteng, dan Maumere. Bahkan semenjak dahulu hingga sekarang ini, kota Ende menjadi tempat transit atau tempat istirahat para wisatawan lokal maupun mancanegara apabila ingin berkelana mengitari pulau Flores, dari Labuan Bajo atau Ruteng ke Maumere, Larantuka, atau Lomblen. 

Para wisatawan dapat meluangkan waktunya untuk mengunjungi situs Bung Karno, taman renungan Bung Karno di kota Ende dan danau tiga warna Kelimutu. Jadi, kota Ende tidak hanya sekadar tempat yang nyaman untuk mengaso melainkan menawarkan lokasi-lokasi wisata yang alamiah dan terkenal eksotik. Sebaliknya, dari paradigma ekonomi mikro dapat ditegaskan bahwa saat ini masyarakat kota Ende memiliki volume waktu kerja yang jauh lebih banyak dan padat jika dibandingkan dengan belasan tahun lalu. Implikasi logisnya, perputaran uang di kota Ende pun menjadi semakin banyak dan jauh lebih cepat. Kondisi ini menjadi variabel determinan dalam mendongkrak kurva pertumbuhan ekonomi baik di sektor formal maupun informal. 

Menurut penulis, agar pertumbuhan perekonomian menjadi lebih intensif, kompetitif, dan produktif, maka beberapa butir gagasan dapat dimanfaatkan sebagai referensi pembanding bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Ende. Selain asset vital berupa tiga pasar utama yang telah ada, kiranya perlu dibangun beberapa spot ekonomi produktif yang baru. Omzet penjualan produk tenun ikat sebagai hasil unit produksi rumah tangga warga masyarakat Kabupaten Ende perlu dioptimalkan lagi. Oleh karena itu, dibutuhkan market spesifik tenun ikat. Zona tersebut bukan hanya berfaedah sebagai sentra penjualan akhir dari produksi tenun ikat. melainkan juga mensuplay stok kebutuhan masyarakat menyangkut segala pernak-pernik tenun ikat. 


pasar khusus tenun ikat
Ilustrasi foto dari http://emanuelndeluwele.blogspot.co.id
Tersedianya pasar khusus tenun ikat ini memungkinkan akses yang mudah bagi siapapun yang membutuhkan produk tenun ikat. Selanjutnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa kebutuhan konsumsi ikan bagi masyarakat Kota Ende tergolong cukup tinggi. Hanya saja kuota permintaan asupan protein hewani itu masih belum proporsional terpenuhi karena tidak tersedianya pasar yang benar-benar khusus untuk penjualan ikan. Selain itu, perlu dipikirkan untuk membangun pasar khusus daging babi dan daging “RW” sebab saat ini di Kota Ende sudah banyak penjual daging babi dan “RW” yang “turun ke jalan”. 

Strategi antisipatif agar tidak terjadi masalah di kemudian hari plus perimbangan toleransi di antara kita, maka dibutuhkan sebuah pasar khusus. Dari pasar khusus itu juga diharapkan terjadi atmosfer persaiangan harga yang fair sehingga menguntungkan berbagai pihak, terutama para penjual maupun para pembeli. Demi mencapai predikat kota yang ramah dan bersahabat, maka perlu diatur alur distribusi minuman beralkohol yang diproduksi secara tradisional. 

Mengkonsumsi minuman keras (lokal) adalah bagian dari praktik budaya kita, tetapi berubah menjadi bumerang apabila efek minuman keras itu membuat orang kehilangan kewarasan sesaat sehingga mengancam kenyamanan sesamanya. Jadi, agenda urgen saat ini adalah perumusan Perda minuman keras lokal agar tidak disalahgunakan. Kita semua sungguh berharap kalau evolusi ekologi Ende bermuara pada kultur kota yang ramah dan bersahabat.* Flores Pos, 17 Oktober 2017

Disqus Comments