Kejahatan Korupsi Tanpa Rasa Malu

Lewat media massa setiap hari kita disuguhi berbagai berita tentang kejahatan korupsi yang dilakukan para pejabat negara, para politisi, dan para pengusaha, calo proyek di negeri ini. Kejahatan korupsi ini tidak hanya terjadi di tingkat pusat, juga di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.Sejumlah kasus korupsi juga sampai di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan. Kejahatan korupsi megaproyek e-KTP yang sedang ramai diperbincangkan masyarakat pada saat ini membuat bulu kuduk kita merinding. Betapa tidak, dana sekitar Rp 2,4 triliun yang merupakan uang negara untuk rakyat Indonesia dibagi-bagi sesuka hati oleh para penjahat korupsi di Kementerian Dalam Negeri, para anggota Komisi II DPR RI dan para pengusaha atau calo proyer.

Di tengah gencarnya perang terhadap korupsi dilakukan KPK, kejaksaan, dan kepolisian, penjarahan uang dan aset negara tetap saja terjadi dari hari ke hari. Nafsu tamak para pejabat dan politisi di negri ini sepertinya tidak pernah surut. Yang menyedihkan, penjarahan itu dilakukan oknum-oknum pejabat yang pada waktu menjabat bersumpah atas nama agama dan di atas kitab suci agamanya untuk mengabdi bagi kepentingan umum, bangsa dan negara. Mereka bersumpah atas nama agamanya untuk menjadi pelayan dan pengabdi negara dan masyarakat. Apakah tindakan para penjahat korupsi ini tidak termasuk penistaan agama yang dianutnya? Menurut Hamdi Muluk, pakar psikologi dari Universitas Indonesia, fenomena pejabat negara dan politisi tersangka kejahatan korupsi seperti tidak punya rasa malu. Mereka sering melempar senyum di depan kamera, merasa biasa-biasa saja. Bahkan Hamdi Muluk menengarai, negara kita sudah gagal total dalam mempermalukan koruptor (detik.com 15/11/2013).

Meskipun korupsi bukan monopoli negara Indonesia yang mengaku sebagai negara penganut agama terbesar di dunia, namun bedanya, koruptor di negara-negara lain dihukum berat sampai hukuman mati. Sedangkan koruptor di Indonesia tidak seberat di negara lain karena di Indonesia sebagian aparat penegak hukum juga terlibat korupsi. Memberantas kejahatan korupsi jadi mulai dari mana? Korupsi sudah terjadi dan akan terus terjadi kepada para pejabat negara, para politisi, dan para pengusaha atau calo proyek. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang merasa biasa saja. Mereka merasa korupsi itu hanyalah sejenis kesalahan belaka. Bahkan ada yang mencari-cari kambing hitam, bahwa itu kesalahan administrasi atau laporan yang salas.

Banyak pejabat negara dan politisi yang lupa bahwa unas negara tidak sama dengan uang pribadi. Anehnya lagi saat ditangkap banyak koruptor mempermasalahkan prosedur penangkapan mereka. Ada koruptor yang jelas-jelas sudah tertangkap tangan (OTT oleh KPK) masih berkelit mempersoalkan prosedur penangkapan oleh KPK. Akal sehat warga masyarakat tidak mampu lagi memahami cara berpikir para penjahat uang dan aset negara ini. Banyak sekali argumen untuk membenarkan kesalahan mereka. Ada-ada saja alasan, kemudian mereka membeli advokat bayaran untuk melawan dengan praperadilan. Kewenangan penggunaan dana walaupun sudah ada regulasinya tetapi dalam kenyataannya semua regulasi itu menjadi tidak berarti karena pejabat negara dan politisi merasa sebagai penguasa.

Kejahatan Korupsi Tanpa Rasa Malu

Penguasa yang ada saat ini bertingkat-tingkat. Semua pejabat merasa berwenang mendapatkan bagian proyek apa saja. Sering terjadi kesalahanpahaman fatal antara atasan dengan bawahannya karena rebut kewenangan mengelola dana. Sudah tidak perlu ingat lagi tugas dan tanggung jawabnya. Akuntabilitas mempunyai dua sisi yang keduanya harus seimbang atau sama. Jadi, dapat dikatakan akuntabilitas adalah keseimbangan antara pemerintah dan rakyat. Tujuan hakiki pelaksanaan pemerintahan adalah melayani masyarakat. Dana yang ada di sisi pemerintah harus sama dengan yang dipergunakan kepentingan rakyat di sisi sebelahnya. Kalau tidak seimbang menjadi utang pemerintah kepada rakyat.

Kapan utang itu akan dibayar? Ini tanggung jawab pemerintah yang bertingkat-tingkat itu. Perlu dicari benang merah mengapa korupsi di Indonesia terus terjadi dan terus dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dan berpengaruh.Budaya malu dan hukuman sosial mungkin lebih berpengaruh terhadap pencegahan korupsi. Regulasi terhadap penggunaan dana masyarakat/negara harus tegas agar tyda ada celah para penjahat negara untuk mencuri. Perlu kesadaran bahwa pengawasan bukan membatasi, tetapi membantu untuk mencegah kesalahan atau keinginan melakukan kejahatan korupsi. Pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh dana yang dialokasikan untuk pembangunan, lebih-lebih buat daerah-daerah miskin yang tersebar merata di Provinsi NTT ini.

Tulisan ini pernah dimuat di Pos Kupang, 17 Maret 2017.

Disqus Comments