Reformasi Birokrasi untuk Kepentingan Rakyat

Menuju masyarakat Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian adalah visi dan misi presiden dan wakil presiden kita, Jokowi dan JK. Visi dan misi besar ini hendak mengatasi tiga problem utama bangsa saat ini, yakni merosotnya kewibawaan negara, melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional, dan merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. Dukungan yang besar masyarakat bangsa sangat diperlukan agar tercapainya visi dan misi mulia tersebut. Salah satu pilar bangsa untuk menyukseskan visi dan misi besar itu adalah organisasi birokrasi pemerintah yang dipercayai publik. Apabila organisasi pemerintah tidak dipercayai publik, maka pekerjaan organisasi pemerintah itu akan sia-sia. Sebuah organisasi birokrasi pemerintah yang baik haruslah memiliki standar pelayanan publik yang andal, kinerja organisasi birokrasi meningkat dari waktu ke waktu, juga harus ada penerapan good governance. Organisasi birokrasi pemerintah yang baik akan berakibat pada pencapaian visi dan misi kepala pemerintahan, baik itu presiden, gubernur maupun bupati/walikota. Berdasarkan pengalaman selama ini, visi dan misi kepala pemerintahan atau kepada daerah tidak tercapai akibat birokrasi pemerintahan terlalu gemuk, lamban, dan tidak saling bersinergis. Hal ini lebih banyak terjadi pada organisasi pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah daerah lebih banyak menghabiskan dana untuk kepentingan internal birokrasi pemerintah apalagi ketentuan dana alokasi umum (DAU) lebih fokus pada pembayaran gaji pegawai. Sisanya yang sedikit tidak dipakai untuk pencapaian visi dan misi, tetapi habis dipakai untuk kepentingan perjalanan dinas, pengangkatan pegawai kontrak baru yang bernuansa nepotisme, dan pembelian barang-barang kebutuhan kantor yang sebetulnya tidak dibutuhkan, seperti mobil dinas dan peralatan kantor, baik untuk eksekutif maupun legislatif. Perjalanan dinas pergi-pulang Ende-Jakarta bisa menghabiskan biaya Rp 8 juta, belum ditambah penginapan, makan, taksi dalam kota. Dalam pelaksanaan otonomi daerah selama ini, bupati/walikota jarang berurusan dengan gubernur, langsung ke Jakarta menghubungi menteri dan pejabat di pusat untuk kepentingan daerahnya. Gubernur yang merupakan koordinator atau atasan langsung bupati/walikota jarang berada di tempat karena dalam prakteknya gubernur juga menjalankan otonominya sendiri. Pada zaman sebelum otonomi daerah, kalau gubernur memanggil bupati/walikota, saat itu juga bupati/walikota menghadap. Pada era sekarang hal tersebut sulit terjadi. Banyak contoh dan bukti yang bisa dilihat masyarakat. Diharapkan agar ke depan birokrasi di tingkat provinsi adalah birokrasi yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat sehingga gubernur adalah pejabat yang mewakili presiden di provinsi, sehingga birokrasi provinsi mirip dengan birokrasi kementrian pemerintah pusat. Hanya saja birokrasinya tidak gemuk, fungsinya adalah pengawasan dan koordinasi. Beberapa saat lalu ada wacana bahwa pilkada langsung hanya untuk kabupaten/kota sedangkan untuk provinsi dipilih oleh DPRD. Wacana ini mungkin untuk perencanaan birokrasi pemerintahan daerah ke depan. Ada dua hal menarik yang bisa kita jadikan contoh tentang jarangnya pengawasan provinsi ke kabupaten/kota. Sebagai contoh pertama, dalam kasus penenggelaman kapal-kapal asing pencuri ikan. Menteri Susi Pudjiastuti sedang mengembangkan produksi ikan dalam negeri dan membasmi kapal-kapal asing pencuri ikan. Kita di Flores makanan pokok bukan daging, tetapi ikan karena laut kita kaya raya akan ikan. Ada banyak bantuan pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten berupa kapal dan alat tangkap ikan, tetapi sampai saat ini semua bantuan itu hilang-lenyap entah ke mana. Dalam kenyataannya, ikan tetap sulit didapat nelayan terutama saat musim barat yang jatuh pada bulan Desember sampai April. Berbagai alasan yang dikemukakan, misalnya nelayan kita tidak pandai merawat kapal dan alat tangkap. Yang sebenarnya terjadi, dalam proses pengadaaan barang, tidak ada koordinasi antara pemerintah pusat (pemberi bantuan) dengan pemerintah kabupaten (penerima bantuan) sehingga bantuan itu mubazir. Nelayan tidak bisa merawat dan mengoperasikannya. Mungkin kalau pengadaannya oleh pemerintah provinsi bisa diusahakan kapal-kapal yang dapat dirawat dan dioperasikan para nelayan. Contoh permasalahan kedua, penanganan pengungsi Rokatenda di Flores. Penanganan bencana alam ini tidak bisa dilaksanakan hanya oleh satu kabupaten saja karena kerusakannya besar. Permasalahan Rokatenda terjadi di dua kabupaten, yaitu Ende dan Sikka. Penanganan ini menjadi terpisah-pisah oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Ende dan Sikka. Yang terjadi, bukan menangani pengungsi Rokatenda, tetapi sejumlah pejabat terlibat korupsi. Ironis memang. Pada saat ini banyak pejabat dituduh korupsi. Kiranya kita tidak serta-merta mengatakan bahwa kesalahan itu karena ulah pejabat bersangkutan. Merajalelanya korupsi, tidak hanya ulah pejabat saja, juga karena sistem birokrasi yang bobrok. Kalau birokrasi ramping, tentu tidak terjadi seperti sekarang. Setiap kementerian mengurusi 34 propinsi, masing-masing propinsi mengurusi puluhan kabupaten/kota, betapa jauh rentang kendalinya. Kalau urusan kabupaten/kota ditangani provinsi tentu akan ada penghematan besar. Reformasi birokrasi untuk kepentingan rakyat menjadi mutlak untuk diwujudkan. (Suara Uniflor, Flores Pos, Sabtu, 7 Februari 2015).

Disqus Comments